Perang Dagang AS

时尚 2025-06-13 05:19:40 82
Warta Ekonomi,quickq io官网 Jakarta -

Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok tidak hanya mengguncang arus perdagangan internasional, tetapi juga mengubah secara fundamental cara negara-negara menyusun kebijakan ekonomi.

Chief Economist PT Trimegah Sekuritas, Fahrul Fulvian, dalam sesi pemaparan Macroeconomic and Bond Market Outlook, menyebut dunia kini memasuki fase baru yang ia istilahkan sebagai A Brave New World. Dalam fase ini, multilateralisme melemah dan kebijakan ekonomi global tidak lagi berbasis aturan bersama (rule-based), melainkan berlandaskan diskresi dan negosiasi.

Perang Dagang AS

Perang Dagang AS

“Dulu, ada pakem yang bisa kita pegang dalam membuat keputusan. Sekarang semuanya bergeser, kebijakan global makin dipengaruhi oleh agenda politik dan kompromi bilateral,” ujar Fahrul, dikutip Rabu (4/6/2025).

Perang Dagang AS

Baca Juga: Update Perang Dagang: Beijing Ungkap Sejumlah Dusta Trump ke China

Perang Dagang AS

Ketegangan perdagangan yang terus meningkat antara dua raksasa ekonomi dunia itu telah menciptakan ketidakpastian tinggi dalam sektor perdagangan global. Kondisi ini berdampak langsung terhadap dunia usaha, terutama pelaku ekspor-impor.

Fahrul menjelaskan bahwa kontrak-kontrak dagang jangka panjang semakin sulit direalisasikan karena risiko kebijakan yang tak menentu. “Sekarang, pelaku usaha lebih memilih kontrak 3–6 bulan, bahkan banyak yang bertransaksi tunai. Ini menunjukkan perubahan drastis dalam persepsi risiko,” jelasnya.

Ketidakpastian tersebut turut meningkatkan kebutuhan pembiayaan jangka pendek. Permintaan terhadap modal kerja (working capital) melonjak karena pelaku usaha perlu menjaga likuiditas tinggi dan menghindari risiko piutang jangka panjang.

Baca Juga: Update Perang Dagang: AS Isyaratkan Negosiasi Trump dan Xi Jinping

Menurut Fahrul, yang lebih mengkhawatirkan dari sekadar perang tarif adalah munculnya gejala bahwa dominasi dolar AS sebagai jangkar global mulai melemah, atau yang ia sebut sebagai "dollar exceptionalism is over". Negara-negara surplus seperti Tiongkok dan Jepang mulai mengurangi minat terhadap surat utang pemerintah AS, mengganggu stabilitas ekosistem keuangan global yang selama ini menopang kekuatan dolar.

“Relasi 40 tahun antara yieldobligasi AS dan kekuatan dolar terputus sejak April lalu. Ini bukan hanya gangguan teknikal, ini pergeseran sistemik,” tegasnya.

Di tengah perubahan arah ekonomi global, muncul pertanyaan strategis: bagaimana Indonesia harus merespons? Fahrul menekankan perlunya regulator dan pelaku pasar memahami konteks global dan membangun strategi pendanaan yang lebih mandiri serta adaptif.

“Pasar obligasi lokal harus jadi alternatif strategis. Di tengah gejolak global, kekuatan pembiayaan dalam negeri akan menjadi tameng utama kita,” pungkasnya.

本文地址:http://www.quick-zh.com/news/27d999015.html
版权声明

本文仅代表作者观点,不代表本站立场。
本文系作者授权发表,未经许可,不得转载。

全站热门

Langkah Kemen PPPA Tangani Kasus Polisi Lecehkan Korban Pemerkosaan di NTT

Mengenal Tanda Kehormatan Nugraha Sakanti yang Diberikan Jokowi ke 7 Satker Polri, Apa Itu?

Optimalisasi Aset Negara, PPKGBK Resmi Kelola Balai Sidang JCC Secara Mandiri

Ekspor Minyak Sawit ke Uni Eropa Meningkat, Stok Dalam Negeri Turun

Keren! Universitas Esa Unggul Naik Peringkat di UI Greenmetric 2024

Nadiem Serahkan Jabatan ke 3 Menteri Baru, Minta Lanjutkan Kurikulum Merdeka

Kumpulan Doa untuk Guru, Bisa Dibaca di Hari Guru Nasional

Raffi Ahmad Ikut Dipanggil Prabowo ke Kertanegara, Ini Tugas yang Bakal Diemban

友情链接